Pagi yang cerah
telah mengawali hari ini, pertanda baik menurutku. Aku yakin hari ini akan jadi
hari baik untukku, entahlah. Bahkan sang mentari juga turut berpartisipasi dalam
memulai hari yang indah ini dengan sinar terangnya yang memberi kehidupan bagi
semua makhluk hidup dibumi.
Burung-burung
berkicau merdu menemani langkah kaki kecilku menuju sebuah gedung besar yang
sejak 2 tahun terakhir ini menjadi tempat untukku belajar, menuntut ilmu demi
menggapai cita-cita.
Aku Rei, lebih
tepatnya lagi Reinata Kusuma. Seorang gadis yang menurutku tidak terlalu cantik
namun, tidak juga terlalu jelek. Aku gadis keturuan Indo-Jepang, jadi wajar
saja kalau warna kulitku sedikit berbeda dengan gadis-gadis remeja di Indonesia.
“Ini makanan buat
kak Evan.” Kata seorang gadis manis dengan rambut yang dikepang dua, ia menundukkan
kepalanya malu sambil menjulurkan kedua tangannya yang memegang sebuah kotak
bekal berisi nasi goreng beserta telur ceplok buatannya sendiri.
Aku berhenti melangkahkan
kaki, melihat dan mengamati apa yang sedang terjadi ditengah-tengah jalanku
menuju kelas. Dia Evan Wijaya, lelaki jangkung dan tampan yang menjadi idola
semua gadis disekolahku. Dan, lelaki yang sejak beberapa minggu yang lalu
senang sekali hadir disetiap mimpi indahku serta berlari-lari riang
diingatanku. Kulihat dia hanya tersenyum kecut tanpa pergerakkan yang berarti. Tak
jauh beda dengan 2 orang yang berdiri dibelakangnya, mereka hanya memandang
sinis gadis berkacamata itu dengan kedua tangan yang dimasukkan kedalam saku
celana masing-masing.
Aku melirik tupperware biru muda yang ada ditangan kananku,
hanya ada 2 potong sandwich seperti
biasa didalamnya. Kenapa biasa? Ehm, karena memang setiap paginya aku selalu
memberikan kotak bekal berisi sandwich
untuknya, untuk Evan. Sudah menjadi
rutinitas tersendiri untukku.
Aku menghela nafas
pelan, mungkin kali ini aku harus mengalah dan membiarkan Evan menikmati bekal
yang diberikan gadis manis itu. Dengan perlahan kumasukkan kembali kotak bekal
itu kedalam tasku, biarlah untukku saja bekal ini. lumayan kan untuk dimakan
pas jam istirahat nanti.
“Minggir!!!” sentak
Nuel, Seorang cowok bermata sipit yang berada tepat disebelah kanan Evan.
Gadis itu tak
bergerak, ia masih setia menunduk, mengacuhkan sentakkan keras dari Nuel tadi. Takut
mungkin? Atau ia gugup karena berhadapan langsung dengan 3 cowok tampan yang famous banget diSMA ini.
“Minggir!!” lagi,
satu kata itu terdengar jelas ditelingaku dan kali ini Evan-lah yang
mengeluarkan suaranya. huhh, aku sudah hafal betul dengan suaranya cowok tampan
satu itu.
“Terima kasih ya
buat bekalnya.” Aku menyambar cepat tupperware
pink dengan gambar Winnie The Pooh
dipenutup wadah bekalnya itu. Tangan gadis itu mulai bergetar, sangat gugup
sepertinya. Harus kuakui kalau wajah sahabat-sahabatku ini memang sangat
mengerikan saat mereka kesal.
Gadis itu mengangkat
wajahnya untuk melihatku, aku tersenyum agar dia tidak terlalu merasa tegang.
“Jangan bosen ya buatin bekal buat sahabat-sahabat kakak.” Kataku lembut sambil
mengusap pelan kepalanya.
Ia mengangguk
cepat, penuh semangat sepertinya. Senyuman manispun tak pernah pudar dari
wajahnya saat ia berpamitan untuk kembali kekelasnya.
Aku berbalik melihat
ketiga cowok tampan itu, mereka langsung mengalihkan pandangannya sambil bersiul-siul
ria seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Dan lagi aku menghela nafas
pelan lalu mengeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan sahabat-sahabatku itu.
“Habisin!!! Awas ya kalau loe nggak mau menghabiskannya!!” ancamku sambil
memberikan tupperware pink itu
ketangan Evan dan berlalu pergi.
Baru 3 langkah aku
melaju, cengkraman kuat sudah begitu terasa dipergelangan tanganku, membuat aku
terpaksa menghentikan langkah dan kembali menoleh kebelakang.
“Lepasin!” bentakku
setelah mengetahui tangan siapa yang mencengkram erat pergelangan tangan
kananku.
“Nggak mau, Berikan
dulu!!” katanya sambil menengadahkan tangan kirinya, seolah meminta sesuatu.
“Apa?” tanyaku tak mengerti, Apa lagi yang mau
diberikan?? Dasar cowok aneh!!!
“Ya bekal buat
gue-lah.” Jawabnya singkat sambil menatapku tajam.
Huhh, tatapannya setajam
elang, kenapa aku baru menyadarinya yah? Ck, dasar bodoh! Rutukku dalam hati,
semoga dia tidak mendengar suara jantungku yang berdetak tak normal ini.
“T-tadi kan udah, loe
pikun ya?” Aku menundukkan kepala, tak berani menatap matanya. Aku baru
mengerti sekarang, ternyata perasaan inilah yang dirasakan gadis-gadis itu saat
Evan menatap mereka, pantas saja!
“Gue nggak mau bekal
itu, gue cuma mau bekal yang loe bawa!”
“Nggak ada!” kataku
menghempaskan tangannya, terlepaskah? Tentu saja lepas, tapi hanya bertahan
sebentar, pria jangkung itu malah kembali menggenggam tanganku bahkan lebih
erat dari yang tadi. Kuat sekali tenaganya, Apa selama ini dia sering makan
makanan kuda? Huh, sekuat apapun aku berontak tenagaku ini takkan mampu
menandingi tenaganya.
Dengan cepat ia
meraih tasku dan otomatis melepaskan cengkraman tangannya. “Evan!!! apa yang
loe lakuin?” tanyaku saat melihatnya mengobrak-abrik isi tasku.
“Ketemu.” Ucapnya
tersenyum senang. Apa yang ia temukan? ekspresi wajahnya sungguh berlebihan
sekali, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan es krim!. “Loe!!” sentaknya
terhadapku.
“A-apa?” balasku
sok-sokan berani menatapnya.
“Jangan coba-coba
bohongin gue lagi!” perintahnya yang kemudian berlalu pergi.
“Hah?
yang benar saja!!” desisku sebal, seenaknya saja laki-laki jangkung itu
memerintahku.
Aku
melirik kedua sahabatku –Nuel & Bintang- yang tengah menahan tawanya
melihat
mulutku komat-kamit nggak jelas.
“Apa??” gertakku.
Mereka tersenyum
kikuk, lalu menggeleng cepat dan mengangkat tangan kanannya membentuk huruf ‘V’ dengan jari manis dan telunjuknya.
“peace Rei!” ucap mereka berdua kompakan kemudian berlari kecil menyusul
langkah Evan. “ck!! Kalian bertiga sungguh menyebalkan!!!”
***
Setelah 3 jam
lamanya mendengarkan penjelasan Pak Anton, sang guru killer. Akhirnya bel tanda istirahat berdering juga. Semua
teman-teman sekelasku langsung berhambur keluar kelas, kecuali aku dan ketiga
sahabatku serta seorang murid baru. Namanya Tari. Rambutnya hitam panjang dan sedikit
bergelombang, tubuhnya juga langsing walaupun badannya tak terlalu tinggi. Saat
ia masuk kedalam kelas pada jam pelajaran kedua tadi, semua mata kaum adam
langsung tertuju padanya. Tentu saja ketiga sahabat baikku itu juga ikut
menatap kagum gadis cantik itu.
Saat melihat Evan
juga ikut memperhatikan Tari, ada perasaan aneh yang bergejolak dalam hatiku,
entahlah i don’t know. Aku juga ikut
memperhatikan gadis cantik itu, sekedar membuat perbandingan antara aku dan
dia. Harus kuakui, gadis ini sedikit lebih baik dari pada aku.
“Cantik ya.” kataku
setelah berhasil duduk ditengah-tengah kedua sahabatku -Nuel & Bintang-,
Keduanya langsung mengangguk setuju. “Hmm, kalau gitu deketin dong! entar
keduluan orang lain loh.” Godaku menyenggol pelan lengan kanan Nuel dan lengan
kiri Bintang dengan lenganku.
Mereka berdua
menatapku secara bersamaan sambil tersenyum, sedetik kemudian mereka berdua
beranjak dari duduknya menuju Tari, sang gadis cantik yang tengah sendiri
menanti pangeran-pangeran tampan datang menggodanya.
“Van?” panggilku saat mengetahui cowok yang
duduk disebelah Nuel tadi sama sekali tak bergerak. Laki-laki itu menoleh
kearahku dengan tatapan tajam yang seolah berkata ‘APA?’ tanpa mengeluarkan
sedikitpun suaranya.
Ditatap seperti
itu, aku jadi gelagapan sendiri. Untung saja aku masih bisa mengendalikan
perasaanku dan dengan cepat menjawab tatapannya. “emm..kenapa diam? Sana susul
Nuel dan Bintang!”
Evan mengalihkan
pandangannya kedepan, melihat Nuel & Bintang yang sudah terlebih dahulu
mendekati gadis cantik itu. ia tersenyum simpul lalu menggeleng pelan.
Aku menatapnya
bingung, kenapa? bukannya dari tadi dia juga ikut memperhatikan Tari, lalu
kenapa sekarang dia diam saja. Benar-benar lelaki aneh!
“gue nggak mau.”
Katanya beranjak pergi keluar dari kelas setelah berhasil mengacak-acak poniku.
Ckck!! Laki-laki
satu ini, kenapa jadi menyebalkan sekali sih? Rambutku jadi berantakan
karenanya.
“Hei!! Tunggu!!”
aku berlari mengejarnya, berusaha mensejajarkan langkahku dengan langkah Evan yang
besar-besar itu. “kenapa nggak mau?” lanjutku bertanya.
“Gue nggak mau aja.”
“ya kenapa? kenapa nggak
mau?? Tari itukan tipe loe banget, cantik kayak bidadari.”
Evan tersenyum
tipis, lalu merangkul bahuku.
“Dikasih 100 orang
bidadari kayak Tari juga gue nggak mau kok, cukup dengan 1 bidadari cantik yang
dari dulu selalu ada disamping gue. Bidadari yang lebih segalanya dari pada bidadari
manapun.”
Aku diam terpaku,
apa yang baru saja dikatakannya? apa aku tidak salah dengar? “maksudmu?”
Dia kembali
tersenyum, namun kali ini lebih lebar dari yang tadi. Aku merasakan
rangkulannya semakin erat dibahuku. “Reina...” panggilnya pelan.
“ya” jawabku tak
berani melihatnya.
“aku.” Dia berbisik
tepat ditelingaku seolah tak ingin ada orang lain yang mendengar apa yang ingin
ia katakan padaku. “mencintaimu Rei.”
Apa yang barusan
dia bilang? Apa? Aku, apa aku tak salah dengar? Dia...mencintaiku? apa benar?
Dan aku merasakan jantungku kembali berpacu lebih cepat dari biasanya. Haaah..
aku ingin berteriak senang mendengar pernyataan Evan barusan. Ada apa dengan
diriku ini, Tuhan?. Gosh!!! sepertinya pipiku memerah karena tersipu malu
sedangkan Evan hanya terkekeh melihat aku yang mulai salah tingkah.
“Ayo, temani aku
makan dikantin. Sekalian merayakan hari jadian kita.”
“Apa? Jadian?”
-----------------------------------------END-------------------------------------------
Selengkapnya...