“Kenapa??
Tanya Ajeng,
seorang gadis yang tengah menikmati indahnya suasana matahari tenggelam diatas
kursi rodanya.
“Apa??”
Seseorang
yang dari tadi berdiri disampingnya malah balik bertanya.
Ajeng
menoleh. “Kenapa kamu masih berada disini??”
“Tentu saja,
Karena aku ini Doktermu.” Jawab Dokter Yudha, orang yang berdiri disamping
Ajeng sambil tersenyum.
Ajeng tersenyum
sinis mendengar pernyataan yang baru saja keluar dari mulut Yudha, Dokternya
“Aku tau
kau Dokter yang menanganiku, tapi...pasti ada alasan lain kan mengapa kau masih
berada disini.” Ujarnya kembali menatap suasana matahari tenggelam itu.
“Lalu,
menurutmu...apa itu?? apa kau tau alasan lain mengapa aku masih berada
disini??” Kata Dokter Yudha melihat kearah Ajeng.
“Iba
mungkin.” Ucap Ajeng singkat.
Yudha
kembali tersenyum. “Mengapa kau bisa berfikir kalau aku iba kepadamu?”
“Entahlah,
aku ini...hanya seorang gadis cacat yang tidak bisa apa-apa...
Semua
orang pergi, bahkan... orang tuaku pun meninggalkan aku untuk selamanya.
Tak ada
harapan, apa lagi alasan untukmu berada disini kalau bukan itu. iyakan Dok??”
Kata Ajeng berusaha membendung air matanya.
“Tidak.”
Jawab sang Dokter singkat.
Ajeng
menoleh, raut wajahnya seolah kembali ingin bertanya ‘Lantas apa?’
Apa yang
membuat kau tetap bertahan disini??
Bersamaku..
Menjagaku..
Menemaniku..
Membuatku
bahagia..
Disaat
semua orang pergi...
Disaat
semuanya terasa begitu gelap...
Disaat
tak ada lagi yang perduli..
Tanpa
dibayar..
Tanpa
diberi apapun..
Ucapan
Terima Kasihpun tak pernah kuberikan..
Apa lagi
alasanmu kalau bukan karena rasa Iba???
Rasa iba
yang begitu besar..
Kenapa??
Kenapa
kau begitu baik??
Kenapa
kau selalu memperhatikanku??
Kenapa
kau selalu memberikan harapan-harapan yang belum pasti bisa kugapai??
Apa arti
semua itu??
Keperdulianmu
itu??
“Mungkin,
aku hanya cukup mengucapkan satu kata untuk menjawab semua pertanyaanmu itu.”
Dokter
Yudha kembali menatap kedepan kearah matahari yang tengah terbenam dengan
indahnya.
“Apa??”
tanya Ajeng semakin menatap tajam dokternya itu.
“LOVE.”
Jawab Yudha singkat.
Deggggg......
tiba-tiba jantung Ajeng tercekat, kemudian terdengar begitu cepat berdetak.
Matanya tak sanggup lagi membendung jumlah air mata yang hendak jatuh itu,
tangannya dingin, mulutnya kaku tak dapat mengatakan apa-apa lagi.
“Selama
aku menanganimu, entah mengapa ada hal lain yang kurasakan. Walaupun aku sama
sekali tak dibayar untuk menanganimu aku tak perduli, CUKUP BERADA DISAMPINGMU
DAN MELIHATMU SEMBUH hanya itu yang ada dipikiranku sekarang.”
Ajeng
sedikit tersenyum, entah itu senyuman bahagia, sedih, atau apa...tak ada yang
tau.
“Apakah
semuanya benar??” tanya Ajeng berusaha mengendalikan dirinya lagi.
“Ya,
Tentu saja.”
“Hmmmmb....”
Ajeng menghela nafas. “Dustamu sungguh jadul, kau fikir aku akan percaya dengan
semua itu.”
“Aku sama
sekali tak berdusta. Apa salah, seorang Dokter jatuh hati pada pasiennya??”
“Salah
besar, kalau memang semua yang kau katakan itu benar..berarti itu semua adalah
sebuah kesalahan.” Ajeng menatap kedepan. “Kamu...Aku.... BEDA.” Lanjutnya
lagi.
“BEDA??”
“Yah,
kamu...seorang Dokter tampan yang memiliki segalanya, masa depan yang indah
tengah menunggumu. Sedangkan aku, hanya seorang gadis lumpuh yang tak berguna
dan tidak memiliki apapun. Masa depan kelam sudah pasti kuraih.” Kata Ajeng kemudian
menundukan kepalanya.
“Dasar
gadis bodoh.” Ujar Yudha menjitak pelan kepala Ajeng.
“Aw...
sakit, apaan sih pake acara jitak-jitakan segala.” Kata Ajeng memegang
kepalanya.
“Mengapa
pikiranmu sependek ini hah?? Menyebalkan, kau sungguh mudah menyerah. Apa kau
memang selemah ini. Aku menyukaimu karena selama ini aku melihatmu sebagai
gadis yang tegar, kau mampu melewati hari-hari tanpa mengeluh walau tak ada
satupun orang yang kau sayang berada disampingmu. Tapi... mengapa kau jadi
seperti ini?? Apa kau putus asa?? Kemana Ajeng yang dulu. Hhuhh.. benar-benar
kau ini.” Ujar Yudha mendengus sebal.
“Hai
semuanya....” Sapa seseorang yang kemudian muncul dihadapan Ajeng dan Yudha.
“Vitha..kapan
kamu pulang??” Tanya Yudha datar.
“Tadi
pagi. Emmmbbb.. Sedang bicara apa kalian?? Terlihat begitu serius.” Tanya Vitha
merangkul lengan Yudha.
“Hanya
sedikit mencurahkan isi hati.” Jawab yudha pelan melepaskan tangan Vitha yang
merangkulnya.
“Hemb,,,
Kau gadis yang bernama Ajeng bukan??”
Ajeng
mengangguk pelan.
“Ohh,
okeh Ajeng, Apa yudha mengatakan sesuatu padamu??”
“Iya,
Dokter yudha mengatakan beberapa nasehat.” Jawab ajeng mencoba tersenyum.
“Owhh.”
Tak lama Suara
hembusan angin petang terdengar begitu jelas, dedaunan yang gugur bertebangan
menghiasi udara-udara disekitar taman Rumah sakit itu. Ajeng tersenyum saat
merasakan angin menerpa tubuhnya.
“Apa kau
menyukai Angin??” Tanya Vitha.
Ajeng
kembali mengangguk.
“Kenapa??”
“Suka
Aja, menurut Aku Angin itu bebas. Begitu bebas, tidak sepertiku yang terbatas
dengan sebuah kursi roda. Aku ingin menjadi angin.”
“Sudahlah.
Anginnya terlalu kuat.” Yudha melepaskan jas putihnya atau lebih sering disebut
baju putih yang dipakai oleh semua Dokter. “Pakai ini, nanti kau sakit.” Kata
yudha memakaikan Jas itu dibadan Ajeng.
Ajeng
hanya diam, seperti biasa tanpa mengucapkan terima kasih.
“Suster....!!!!”
teriak yudha.
“Ada apa
Dok??”
Seorang
wanita dengan pakaian susternya berjalan mendekat kearah Yudha.
“Tolong
bawa Ajeng kembali kekamarnya yah. Pastikan dia istirahat dan meminum obatnya.”
“Iya Dok,
Permisi.” Suster itu membawa Ajeng pergi.
Sepeninggalan
Ajeng.
“Apa
tadi?? Perhatian itu?? Tatapan itu?? apakah kau menyukainya??” Kata Vitha
berdiri tepat dihadapan yudha.
“Seperti
harapanmu bukan??”
Yudha
menatap datar wajah vitha.
-------------------------
“Sus,
saya masih mau disini.” Kata Ajeng menahan rodanya dengan tangan
“tapi
kata Dokter, Kamu..”
“Tidak
apa-apa sus, saya mohon.. saya janji 5 menit lagi saya akan kembali kekamar.”
Ajeng berusaha meyakinkan suster itu agar mau membiarkan dia menikmati indahnya
suasana matahari terbenam itu sampai usai.
“Baiklah,
hanya 5 menit.. setelah itu kamu harus masuk kembali kekamarmu.” Suster luluh.
“Pasti.”
Suster
itupun pergi meninggalkan Ajeng sendiri.
“I..iya..tapi..
aku tak bermaksud begitu.”
“Lalu
apa?? Kau sendiri yang mengharapkan agar aku menyayanginya, kau sendiri yang
mengharapkan agar aku selalu ada untuknya. Kau sendiri yang mengharapkan agar
aku memperhatikannya. Apa salah, bila akhirnya aku benar-benar menyayanginya,
benar-benar selalu ada untuknya dan benar-benar memperhatikannya.” Kata Yudha
dengan suara yang besar disertai dengan penekanan disetiap ujung kata-katanya.
Vitha
terdiam, air matanya jatuh tak tertahan.
“Sekarang,
aku benar-benar menyukainya. Sangat menyukainya. Sangat menyayanginya
dan.....sangat mencintainya.” Sambung yudha lagi.
“Aku
hanya memintamu untuk menyayanginya selama aku pergi, selalu ada untuknya saat
aku tak bisa berada disisinya, memperhatikannya saat aku tak bisa
memperhatikannya. Apa itu salah??” Lirih Vitha.
“Salah.”
Ucap Yudha dengan tegasnya. “Mengapa kau harus memintaku melakukan itu, kenapa
bukan kau?? Kau kakaknya, kakak kandungnya. Tapi kau malah memilih menghindar,
bukan..kau lari dari tanggung jawab. Kau tak mau kan, mempunyai seorang adik
yang lumpuh?? Kau lebih memilih menjauh dan pergi keluar negeri dengan alasan
pendidikanmu yang tak kunjung usai itu. Apa kau tau bagaimana perasaannya
selama bertahun-tahun ini?? Tanpa orang tua, tanpa sahabat, Tanpa seorangpun
disisinya. Tak seorangpun yang ia ingat, tak seorang juga mengingatnya.” Kata
stefan bergetar, sekuat mungkin ia berusaha untuk tetap mengontrol emosinya
agar tidak meluap.
“Aku..aku..”
Vitha tertunduk lemas.
“Aku
sangat menyayanginya Vitha, dan aku tak mau dia bersedih lagi saat ia sudah
mengingat masa lalunya. Apalagi masa lalu tentang kau.”
Yudha
berbalik berniat meninggalkan vitha yang masih terdiam dengan air mata yang
terus saja mengalir lancar dipipinya.
“Ajeng.”
Ucap Yudha terkejut saat pandangan matanya melihat sosok Ajeng telah menangis
tak jauh dari tempat ia berdiri sekarang.
“Ajeng.”
Vitha menghapus air matanya dan mengangkat kepalanya melihat Ajeng.
“Kenapa
Dokter tidak cerita kalau aku ini lupa ingatan?? Kenapa dokter tidak cerita
kalau aku masih mempunyai seorang kakak?? Kenapa Dokter berbohong?? Kenapa
Dok??” tanya Ajeng disela2 tangisnya.
“Ajeng,
aku...”
“Cukup.
Aku tak mau dengar apa-apa lagi.” Kata Ajeng yang kemudian pergi dengan kursi
rodanya, dengan sekuat tenaga ia memutar roda dikursinya itu untuk menjauh.
“Ajeng....”
teriak yudha yang langsung mengejar Ajeng.
Ajeng
terus memutar rodanya dengan keadaan menangis, tanpa disadarinya Ajeng ternyata
sudah berada ditengah-tengah jalan raya. Yang memang saat itu sedang banyak
mobil-motor berlalu lalang.
“Ajeng...”
teriak yudha lagi.
Ajeng
berhenti dan menoleh kebelakang.
“Ajeng,
aku mohon jangan bergerak. Aku akan kesana untuk menolongmu.”
Yudha
berusaha menyebrangi jalan yang penuh dengan kendaraan berkecepatan tinggi itu.
saat yudha menyebrang, ajeng melihat ada sebuah truk besar melaju cepat kearah
Yudha.
“Dokter
awas!!!!!..” teriak ajeng,
BBBUUUGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGG....
Terdengar
suara daging dan tulang yang menghantam rerumputan dipinggir jalan.
“Dokter..Dokter..Dokter..”
Panggil Ajeng berulang kali sambil menepuk-nepuk pipi Yudha . “Dokter, aku
mohon jangan pergi, jangan tinggalkan aku. Aku belum sempat mengatakan kalau
aku juga menyukaimu. Ayo Dokter buka matamu.” Lirih Ajeng dengan cucuran air
mata yang semakin menjadi-jadi.
“Awwww....”
Yudha memegang kepalanya. “tentu saja aku tidak akan pergi, takkan pernah.
Apalagi setelah mendengar kata-kata yang baru kau ucapkan tadi.” Yudha membuka
matanya.
“Dokter???”
“Sampai
kapan kau akan berada diatasku seperti itu?? kau ini ternyata berat sekali.”
Cibir Yudha disertai senyuman paling mempesonanya.
Ajeng
langsung bangun dari posisinya semula, disusul yudha yang berdiri tepat
disebelahnya.
“Kau!!!..
Dokter Jahat dan Bodoh...” teriak Ajeng sambil memukul lengan yudha. “kalau kau
tidak bisa menyebrang, tak usah sok jadi pahlawan kesiangan untuk menolongku,
tanpa bantuanmu juga aku bisa menyebrang sendiri dengan keadaan yang masih
utuh. Bagaimana kalau kau tadi tertabrak?? Siapa lagi dokter yang akan
merawatku secara gratis dirumah sakit ini?? Siapa lagi dokter yang akan
memperhatikanku, siapa lagi dokter yang akan menyayangiku. Apa kau sudah bosan
hidup?” Omel ajeng terus menerus.
Yudha
memperhatikan pasien kesayangannya itu dari ujung rambut-ujung kaki. Lalu Yudha
tersenyum lebar.
“Senyam-senyum
lagi, kau itu hampir saja menuju kematian. Kenapa malah terlihat bahagia??”
tanya ajeng dengan sewotnya.
“Apa kau
tidak menyadari sesuatu??” tanya Yudha memegang kedua pipi Ajeng.
“menyadari??
Apa??” kata Ajeng gugup.
“Kau yang
menyelamatkanku, kau yang sudah menolongku Ajeng. Apa kau tidak sadar??”
Ekspressi muka yudha benar-benar terlihat bahagia.
“aku
memang menyelamatkanmu, tak usah sesenang itu!!”
“Ya ampun
Ajeng, Pasien kesayanganku yang paling cantik.... Dengarkan aku.” Yudha mulai
berbisik. “Kau sembuh.” Lanjutnya.
“Apa?”
Ajeng menoleh kebawah, ia melihat kakinya yang sudah bisa berdiri lagi.
“Sembuh??” Ajeng menatap Yudha dengan mata yang berkaca-kaca.
“Dokter
aku sembuh, aku sembuh.” Kata Ajeng refleks memeluk erat Yudha.
Yudha
tersenyum lepas dipelukan Ajeng, iapun memeluk erat pasien kesayangannya itu.
Dibalik
pohon...
“kamu
memang angin jeng, Kamu adalah angin yang berhasil membawa terbang cintanya
yudha ikut bersama kamu. Kamu angin yang kuat. Kakak sayang sama kamu.” Gumam Vitha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar