Awan biru yang indah itu
kini telah berubah menjadi gumpalan-gumpalan awan hitam dengan air-air yang
terkandung didalamnya dan siap untuk menghujani bumi.
Sang Matahari cerah
meredup, hilang tak terlihat tertutup awan gelap.
Burung-burung pun
bertebangan hendak kembali kesarangnya.
Taman penuh bunga indah
yang tadinya ramaipun sekarang telah sepi bagaikan terganti oleh sebuah
pemakaman.
Semua orang pergi. Tapi
tidak dengan DIA....
DIA...orang yang sangat
aku cintai.
DIA...orang yang paling
berarti dalam hidupku.
DIA...satu-satunya orang
yang kumiliki didunia ini.
Terlihat begitu jelas
dari sudut pandangku berdiri.
Ia masih terduduk lemas
dikursi panjang dipinggir kolam itu.
Saat air hujan turun
memabasahi bumi, menerpa dirinya yang sedang sedih.
Air hujan dan air mata
yang sama derasnya membasahi pipi putih gadis itu.
Segukan tangisnya
terdengar.
Tangisannya pecah
diguyuran hujan.
Kaos biru dan jeans
pendeknya pun telah cukup basah saat ini.
CUKUP....
Aku sudah tak sanggup
lagi.
Aku tak bisa
membiarkannya sendiri disana.
Tak bisa membuat dirinya
terus menangis.
Tak bisa melihat hatinya
terus tersakiti.
Kukuatkan peganganku
terhadap sebuah gitar yang memang sudah dari tadi kubawa.
Perlahan...kuberjalan
ditengah guyuran hujan.
Mencoba untuk melawan
derasnya air yang menghujam tubuh kurusku.
Aku hendak
menghampirinya.
3 langkah
lagi..ya...hanya 3 langkah lagi aku tiba tepat didepannya.
Aku berhenti.... kuangkat
gitarku sampai tepat didepan perutku.
Kumainkan gitar itu,
petikan pertama ia menoleh memandangku tajam dengan sorot mata yang memerah.
Aku mulai bernyanyi untuk
menghibur dirinya.
Engkau
yang sedang patah hati...
Menangislah
dan jangan ragu ungkapkan...
Betapa
pedih hati yang tersakiti...
Racun
yang membunuhmu secara perlahan...
Engkau
yang saat ini pilu...
Betapa
menanggung beban kepedihan...
Tumpahkan
sakit itu dalam tangismu...
Yang
menusuk relung hati yang paling dalam...
Hanya
diri sendiri...
Yang
tak mungkin orang lain akan mengerti...
Disini
ku temani kau dalam tangismu...
Biar
air mata dapat cairkan hati...
Kan
ku cabut duri pedih dalam hatimu...
Agar
kulihat, senyum ditidurmu malam nanti...
Anggaplah
semua ini...
Satu
langkah dewasakan diri...
Dan
tak terpungkiri...
Juga
bagi...
Engkau
yang hatinya terluka...
Dipeluk
nestapa tersapu derita...
Seiring
saat keringnya air mata...
Tak
mampu menahan pedih yag tak ada habisnya...
Hanya
diri sendiri...
Yang
tak mungkin orang lain akan mengerti...
Disini
kutemani kau dalam tangismu...
Bila
air mata dapat cairkan hati...
Kan
ku cabut duri pedih dalam hatimu...
Agar
kulihat, senyum ditidurmu malam nanti...
Anggaplah
semua ini...
Satu
langkah dewasakan diri...
Dan
tak terpungkiri...
Juga
bagi...mu...
Sedikit senyuman terukir
indah diwajahnya.
Akupun ikut tersenyum.
“Kakak....” panggilnya
sambil berlari kearahku.
“Ajeng...” sahutku
melepaskan gitar dari genggamanku dan mulai merentangkan tanganku lebar
untuknya.
Ia jatuh dipelukanku.
Erat, sungguh
erat..pelukannya begitu erat dan hangat.
aku juga membalas erat
pelukannya.
“Kakak....” ucapnya lirih
dalam pelukanku.
“Udah ya Jeng, kamu nggak
boleh nangis lagi. Kakak nggak suka ngeliat kamu nangis kayak gini. Air mata
kamu terlalu berharga untuk cowok beren*s*k itu.” kataku sambil membelai halus
rambutnya.
Ia melepaskan pelukannya
dan menatapku sendu.
“Kak Yudha tau dari mana
kalo......” perkataannya kuputus.
“kakak tau semuanya Jeng,
semua tentang kamu itu pasti kakak tau.” Ujarku sambil memegang kedua pipinya. “Jadi...kakak
harap, kamu nggak nangis lagi hanya karena cowok jelek itu. ngerti??” lanjutku.
Ia tersenyum, mengangguk
pelan.
“kakak yakin kok, diluar
sana...masih banyak cowok baik yang ngantri jadi cowok kamu. Jangan sedih lagi
yah. Kakak sayang banget sama kamu.”
“Aku juga sayang banget
sama kakak.” Ucapnya balik memegang tanganku yang masih memegang kedua pipinya.
“Janji yah, jangan pernah
netesin air mata kamu untuk cowok-cowok nggak jelas kayak Bryan itu lagi.”
“Iya kak, aku janji.”
Aku kembali memeluknya.
“kita pulang yah. Kalo
disini lama2, entar kamu sakit lagi.”
Ia mengangguk dalam pelukanku
pertanda “iya”.
Kulepaskan pelukan itu,
kuambil gitar yang tadi kulepaskan tepat disampingku. Ia meraih tangan kananku,
Menggandengnya begitu erat. Kepalanya disenderkan dibahuku sambil tersenyum.
Hujan yang tadinya begitu
deras menghujam tubuh kami berdua, kini mulai mereda seiring kepergian kami
dari taman itu.
“Kak Yudha...” panggil
Ajeng ditengah perjalanan dengan masih menggandeng tanganku erat dan
menyenderkan kepalanya dibahuku.
“Iya Ajeng.” Jawabku
sambil terus memandang kedepan.
“Makasih ya Kak, udah
selalu ada buat aku.”
Aku tersenyum membalas
pernyataannya itu.
“sekarang, aku ngerasa
kalo...kayaknya..aku nggak butuh lagi orang lain dihidup aku. Aku nggak butuh
cowok-cowok nggak jelas kayak Bryan, aku juga nggak mau sama cowok-cowok baik
yang kakak bilang ngantri buat aku tadi.”
“Terus.... kamu mau selamanya
sendiri gitu?? Mau yah jadi perawan tua??” godaku.
“Ighhh..kakak.” ia memukul pelan
lenganku. “bukannya gitu...aku nggak mau sama mereka semua,
aku nggak butuh sama mereka..
Kakak mau tau nggak apa yang aku mau dan aku butuh sekarang.”
Aku berhenti berjalan dan
menghadapke Ajeng.
“apa??” aku menatap ajeng
penasaran.
“Kakak.” Jawabnya singkat sambil
menunjukan senyum termanisnya.
Jantungku berdebar kencang
mendengar ucapannya itu, tanganku dingin dan bergetar. Aku berusaha
Keras untuk tidak berteriak
senang, menahan diri agar tidak terbang kelangit. Hanya seuntai senyum
yang kulemparkan kepadanya.
“Kakak?? Maksud kamu??” tanyaku
gemetar.
Ia tersenyum.
“aku mau satu-satunya cowok yang
ada dihidup aku tuh Cuma kakak, Cuma kakak yang aku butuh
dalam hidup aku. Kalau kakak
terus ada disamping aku, aku bakal jadi cewek yang paling beruntung
didunia ini.” Katanya dengan
menatapku tajam.
“hehehe...” aku menggaruk-garuk
kepalaku. “jadi..ceritanya kamu suka nih sama kakak?? Kamu
nembak kakak yah??” sambungku
lagi.
Ajeng mengerutkan alisnya.
“Kakak sakit yah??” katanya
sambil memeriksa keningku. “ngomongnya ngaco deh.”
“lohhh...siapa juga yang ngaco,
itu tadi... kata-kata kamu, kamu suka kan sama kakak?? Hayoo
ngaku?? Hembb..susah yah kalo
orang terlanjur ganteng, ampe adek sendiri tuh jatuh cinta loh.”
Ujarku kepedean sambil melipat
tangan didada.
“Igghhh..ighhh...ighhhh...kakak
mulai deh lebaynya, siapa bilang aku jatuh cinta sama kakak. Aku
itu...” kata2nya yang belum
selesai.
“hemb...ngeles ajah, dasar
jelek...” aku mengacak-acak rambut panjangnya itu.
“kakak....udah ahh,
payah...ngomong sama kakak nggak pernah serius. Main-main aja kerjaannya.”
Ujarnya manyun.
Sungguh, aku sama sekali nggak
main-main. Itu serius Jeng, kakak seneng banget kalo emang kamu
cinta sama kakak. Gumamku dalam
hati.
“Yahhh..dia ngambek, udah
dong...pesek jangan ngambek yah, entar tambah pesek lagi.”
“Kak Yudha...” rengeknya kayak
anak kecil.
“iya.iya....ya udah, pulang yuk.
Nggak kedinginan kamu pake baju basah gitu.” Bujukku.
Ia kembali tersenyum, dan
lagi-lagi menggandeng tanganku erat.
“Yuk pulang.” Ucapnya. “Janji yah
kak...jangan pernah tinggalin Ajeng.”
“Iya, kakak janji.”
***
Keesokan harinya..
“Ajeng.....” teriakku dari lantai
bawah rumah kami.
Tak ada jawaban dari Ajeng.
“hmbbb...pasti belum bangun.”
Aku berjalan menaiki anak tangga
menuju kamar ajeng.
“Ajeng...bangun dek...udah siang
nih, masa cewek bangunnya siang sih.” Kataku sambil mengetuk
pintu kamar Ajeng yang terkunci.
“Ajeng...”
“I..i..iya kak....iya, ajeng udah
bangun kok.” Sahutnya pelan.
“Kok suara kamu gitu sih?? Kamu
sakit ya??” tanyaku khawatir.
“Nggak kak, Ajeng baik-baik aja
kok. Kakak tunggu dibawah yah, bentar lagi ajeng turun.”
“Owhh..ya udah, kakak tunggu
dibawah yah.” Aku berjalan pergi.
Sesampainya dibawah, terdengar
suara ketukan pintu dari luar.
“Iya sebentar...” kataku berjalan
mendekat kepintu. “Pak Gunawan??” ucapku saat membuka pintu
dan melihat sosok orang yang
berdiri tegap diujung pintu.
“Yudha, bisa minta waktunya
sebentar. Ada beberapa hal yang perlu saya berikan kepada anda.”
Ucap Pak Gunawan seorang
pengacara pribadi keluargaku dengan tegas dan lantang.
“Iya pak, silahkan masuk.”
Aku dan pak Gunawan duduk diruang
tamu.
“Ada apa Pak??” tanyaku
penasaran.
Pak Gunawan mengambil sebuah Map
biru dari tas hitamnya.
“Saya kesini untuk memberikan ini
kepada dek Yudha.” Kata pak Gunawan memberikan map itu
kepadaku.
“Ini apa pak??”
“Nanti...anda juga akan tau itu
apa, dan...satu lagi. Ini..surat yang ditulis Pak Dharma sebelum ia
Meninggal.” Pak Gunawan kembali
mengeluarkan sebuah amplop kecil dari tasnya. “Saya kira, hanya
itu saja yang dapat saya berikan
untuk dek Yudha. Sampai sekarang, saya tidak pernah membaca apa
isi surat itu. saya harap...itu
merupakan suatu hal yang dapat membuat hidup dek Yudha dan dik
Ajeng senang.” Terangnya.
Hanya satu hal yang bisa buat aku
senang, yaitu..aku sama Ajeng bisa sama-sama, bukan sebagai
kakak dan adik tapi sebagai
sepasang kekasih. Gumamku dalam hati sambil memegang erat amplop
itu.
“kalau begitu, saya permisi
dulu.” Ujar Pak Gunawan pamit pulang.
“cepet banget pak pulangnya.”
“iya, saya ada janji sama client
saya yang lain.” Jelasnya.
“owhhh, baiklah...terima kasih
pak.”
“sama-sama, kalau ada sesuatu
yang kurang jelas dari isi map itu. dek Yudha bisa langsung
menghubungi saya.”
“iya.”
Aku mengantar pak Gunawan keluar
dari rumah, Ajeng keluar dari kamarnya dan turun kebawah.
“Kakak, tadi Pak Gunawan yah??”
tanya ajeng lembut.
“iya.”
“ngapain??”
“Nih, ngasih ini.” Kataku
mengangkat map dan amplop itu.
“Isinya apaan??”
“nggak tau, Pak Gunawan sama
sekali nggak ngasih tau apa2 sama kakak.”
“ya udah, buka aja kak.”
Aku mengangguk lalu berjalan
menuju sofa diruang tamu.
Kuletakkan Map diatas meja,
kuingin mengetahui terlebih dulu apa yang ingin papa sampaikan
padaku. Pelan kubuka lem yang
menutup amplop itu.
“Ajeng.... sini, kita baca
sama-sama.” Panggilku.
“Nggak ahh, paling itu Cuma soal
bisnisnya papa yang mau diwarisin kekakak.” Kata Ajeng yang
berjalan menuju dapur untuk
mengambil minum.
Yudha..
Papa punya sebuah
cerita untuk kamu dan Ajeng...
“Ajeng....sini ikutan baca sama
kakak, ini bukan surat bisnis2an kok.” Teriakku.
“iya, entar ajeng
kesana...mending kakak bacain aja. Ajeng bakal dengerin dari sini.”
“Okeh....”
Yudha..
Papa punya sebuah
cerita untuk kamu dan Ajeng...
Dulu.. saat usia kamu
masih 3 tahun. teman papa pernah datang kesini, kerumah
kita...
Dia menginap untuk melangsungkan
liburan bersama istri dan anak perempuannya
yang sangat cantik..
keluarga kita dan
keluarga mereka sangat akrab, bahkan sudah seperti keluarga
sendiri, ketika waktu
liburan mereka selesai..mereka memutuskan untuk kembali
keSingapura. Karena...anak
kesayangan mereka divonis mengidap penyakit Kanker
Otak stadium satu,
belum terlalu parah..tapi bila dibiarkan kanker itu bisa
menyebar dan semakin
tumbuh lebih ganas lagi bahkan menyebabkan kematian.
Diperjalanan menuju
bandara, mobil mereka kecelakaan Yud. Teman papa dan
istrinya meninggal,
sedangkan anak perempuannya yang masih berusia 2 tahun
selamat..
Hanya keluarga kita
yang mengenal mereka, karna memang..keluarga teman papa
itu sudah tidak ada
lagi.. hanya KITA...
Anak perempuan itu..sekarang
sendiri Yudha, tidak punya orang tua, tidak punya
Keluarga. makanya..papa
dan mama memutuskan, untuk mengadopsi anak teman
papa itu menjadi anak
kami dan juga jadi adik kamu.
Sekarang...anak itu,
jadi anak yang baik, pintar dan juga cantik kan Yudha??
Anak perempuan
kesayangan papa dan mama... AJENG...
Aku menoleh kearah Ajeng yang
masih membelakangiku.
Jadi....jadi...Ajeng bukan adik
kandungku??? Dia bukan saudaraku... lirihku dalam hati.
Aku senang mengetahui kenyataan
ini tapi...bagaimana dengan Ajeng?? Apa dia sedih?? Mengetahui
kalau dirinya bukan bagian dari
mama dan papa. Aku melanjutkan bacaanku yang terpotong tadi.
Jujur...
Papa dan mama sangat
menyayangi Ajeng bagaikan anak papa dan mama sendiri..
Bagaimanapun, Ajeng
adalah bagian dari keluarga kita..
Papa dan mama sayang
Ajeng..tentunya sayang Yudha juga..
Yudha...papa titip
ajeng yah, jagain Ajeng..
Maafkan papa dan mama
baru menceritakan semua ini sekarang..
Papa mama, sayang yudha
ajeng...
Salam
sayang,
Papa
“Ajeng....Kakak...”
“Ajeng nggak apa2 kok kak, kakak
tenang aja...” jawabnya tanpa menoleh kearahku.
Aku berjalan hendak menghampiri
Ajeng, saat langkahku sudah semakin dekat Ajeng berlari keatas
menuju kamarnya.
“Ajeng...” panggilku yang sama
sekali tak digubris olehnya.
Aku melihat tempat dimana ajeng
berdiri tadi, beberapa tetesan darah segar tertempel dilantai.
Kudekati tetesan darah itu untuk
memastikan apakah itu benar-benar darah.
Entah mengapa, dikepalaku
langsung terngiang ucapanku sendiri saat membaca surat papa tadi.
mereka memutuskan untuk
kembali keSingapura. Karena...anak kesayangan mereka
divonis mengidap
penyakit Kanker Otak stadium satu, belum terlalu parah..tapi bila
dibiarkan kanker itu
bisa menyebar dan semakin tumbuh lebih ganas lagi bahkan
menyebabkan kematian.
Aku terduduk lemas sambil
memegang kertas itu.
“Nggak, itu nggak mungkin..Ajeng
nggak mungkin punya penyakit kayak gitu. Papa sama mama pasti
salah. Iya...” ujarku mencoba
menenangkan diriku sendiri.
Langsung saja aku berlari menuju
kamar Ajeng, pintunya yang sedikit terbuka seakan ingin
menunjukka kepadaku apa yang
sedang terjadi didalam kamar itu, kulihat Ajeng sedang mencari-cari
sesuatu didalam laci mejanya.
Kamarnya yang selalu tampak rapi sekarang berubah berantakan
bagaikan kapal pecah yang semalam
habis perang melawan Belanda.
Terlihat bercak-bercak darah
diSelimut putih bunga-bunga yang selalu menemani tidur malamnya.
Kudorong perlahan pintu kamar
itu.
“Ajeng....”
“kakak... kenapa kakak bisa
masuk?? Bukannya tadi aku sudah mengunci pintunya.” Tanyanya sambil
terus menutupi hidungnya dengan
tangan.
“kamu kenapa Jeng??” tanyaku
khawatir.
“aku nggak apa2 kak Yudha,
udah...kakak keluar aja yah. Aku mau istirahat.”
“Bohong...” ucapku.
“Kakak...beneran, ajeng nggak
kenapa2.”
“kalo gitu, lepasin tangan
kamu..kakak pengen liat wajah kamu.” Ucapku sedikit membentak.
“nggak bisa kak, aku lagi flu..takut
virusnya nyebar.”
“Ajeng, sejak kapan kamu berani
bohongin kakak kayak gini??” bentakku.
“sejak hari ini, kakak
juga..sejak kapan kakak nggak tau tentang aku, kakak selalu bilang kalo kakak
itu selalu tau tentang aku. Tapi
mana buktinya?? Kakak tuh pembohong tau nggak, pembohong..”
katanya sedikit berteriak. “sekarang..aku
mau kakak keluar dari kamar aku, aku mau sendiri...”
lanjutnya.
“nggak, kakak nggak mau keluar
dari kamar kamu.”
“aku bilang keluar kakak..” ajeng
mendorongku dengan satu tangannya.
Kutarik tangannya yang mendorong
tubuhku tadi kedalam pelukkanku. Aku memeluknya sungguh
Erat, tak sadar air mataku
menetes dihari impianku terwujud.
Aku senang, dia bukan
adikku..tapi aku sedih, kenapa dia harus sakit?? Kenapa sakit yang parah
seperti ini??
Dia memberontak dipelukanku
terdengar tangisannya yang juga pecah tak terbendung.
“aku bilang keluar kak,
keluar....” pukulannya yang tadi menerpa dadaku kini berhenti.
Mungkin ia sudah merasa lelah
untuk terus memberontak, ia memendamkan kepalanya didadaku
Sambil terus menangis.
Aku membelai rambutnya pelan.
“Maafin kakak.”
Aku melepaskan pelukanku,
perlahan aku mengangkat tangannya supaya tidak menutupi wajahnya
lagi. Aku kaget, tak
menyangka..apa sudah separah ini??? Hidungnya terus saja mengeluarkan darah.
Kuhapus air mata yang mengalir
dari mata indahnya, kukeluarkan sebuah sapu tangan putih dari
dalam sakuku. Hati2ku bersihkan
darah dihidungnya.
“Jangan nangis. Udah kakak bilang
kan, kakak nggak suka liat kamu nangis.” Kataku disela-sela
aktifitasku yang tengah
membersihkan darah dari wajah Ajeng.
Kulihat air matanya menetes lagi,
iapun kembali memelukku.
“Aku sayang kakak,
aku....aku....” katanya terbata-bata.
“Kakak Cinta sama kamu.” Ucapku
memutus perkataannya. “Aku cinta sama kamu, aku cinta Jeng.
Aku cinta.” Kataku berulang-ulang
sambil terus memeluknya.
Aku merasakan pelukan ajeng mulai
meregang, tampak jelas kalau kondisi tubuhnya semakin
Melemah, segera kugendong ajeng
menuju kamarku. Karena..kamar Ajeng sudah cukup berantakan,
selimut penuh darah, bantal
berserakan dilantai, tisu-tisu berwarna merahpun berkumpul bagaikan
lautan tisu.
Tak lama dokter keluarga yang aku
telfon tadi datang, ia memeriksa keadaan Ajeng. Setelah cukup
lama memeriksa keadaan Ajeng,
dokter itu mengajakku bicara berdua diruang tamu. Kata-kata dokter
itu begitu menghujam jantungku
yang hanya satu ini, hatiku teriris perih. Kanker Otak Ajeng sudah
mencapai stadium akhir, hanya
tinggal menunggu waktu. Tak lama...mungkin 1 bulan lagi, tidak...1
minggu, No....itu jg kebanyakan...tinggal
beberapa hari lagi.
(HELLLOOWWW...Dokter, loe pikir
diri loe itu tuhan apa?? Enak aja ngatur-ngatur hidup mati
orang, sinih loe lawan gue, biar
gue panggilin temen-temen gue buat ngeroyokin loe. Hemb.. dasar
dokter nggak bersahabat, FINE
DOK!!! Okeh, kalo gitu Kita PUTUS... DOKTER gue END..!!!
#gubrakkkk, penulis
menggila...abaikan.)
Setelah dokter itu pulang, aku
masuk kekamarku. Perlahan aku duduk disamping tempat tidur dimana
sekarang Ajeng terbaring lemah
tak berdaya. Aku memegang tangan Ajeng.
Air mataku kembali menetes jatuh
tepat ditangan Ajeng. Tangan putihnya itu sedikit bergerak.
“Kak...jangan nangis, emangnya
kakak pikir Cuma kakak doang yang nggak suka liat aku nangis. Aku
juga nggak suka tau liat kakak
nangis.” Kata-katanya terdengar begitu lemah.
“kamu udah sadar??” aku tersenyum
sambil menghapus air mataku. “kakak nggak nangis kok, Cuma
kelilipan aja tadi.” Sambungku.
“Bohong... kakak pikir, kakak
bisa bohongin aku yah. Hehehe..kakak salah, aku tau kok..kakak sedih
kan?? Hemb..payah ahh, masa aku
punya kakak cowok yang cengeng sih.”
“enak aja bilang kakak cengeng,
cengengan juga kamu.”
“aku wajar cengeng, khan aku
cewek,. Nahh kakak...cowok kok cengeng.” Kata Ajeng disertai tawa
khas yang dimilikinya.
“kakak juga kan cengeng gara-gara
kamu.”
Ajeng tersenyum.
“Kakak bisa ajah. Gombal...”
“Ya udah, kamu istirahat yah??
Biar cepet sembuh.” Kataku sambil membelai rambutnya.
“kakak bohong lagi.” Cetusnya.
“Aku nggak bisa sembuh lagi kakak, percuma juga aku istirahat. Iya
kan??”
aku tertegun. Pernyataannya
sungguh tepat tak meleset sedikitpun.
“kamu nggak boleh ngomong kayak
gitu, kamu pasti...” ucapanku terputus.
“Aku mau piknik, kakak mau kan
nemenin aku??” katanya tiba-tiba.
“Nggak, kamu masih sakit. Kakak
nggak mau ambil resiko.”
“kakak....pliss..yah, mau yah...
katanya sayang sama aku, gitu aja kok nggak mau.”
Aku tak dapat menolaknya saat ia
mengeluarkan wajah yang super melas itu.
“Iya.iya...besok kita piknik,
udah..sekarang kamu istirahat yah.” Ujarku mengalah.
“yesss...makasih kak yudha
sayang.”
Aku beranjak dari dudukku hendak
keluar, tapi..ajeng memegang erat tanganku.
“jangan pergi kak, temenin Ajeng
tidur. Ajeng takut, entar...malaikat dateng lagi buat jemput ajeng.
Khan kalo ada kak Yudha, ajeng
ada yang nolongin.”
“kamu inih, ada-ada ajah. Ya
udah, kakak nggak akan kemana-mana. Kamu tidur yah.” Aku
kembali duduk disamping tempat
tidur itu.
sepanjang malam aku hanya menatap
Ajeng sambil memegang erat tangannya. kucium keningnya
sebelum aku beranjak pergi untuk
sholat dan meminta kesembuhan bagi orang yang paling aku cintai
itu. setelah sholat, aku duduk
disofa yang berada dikamarku. Dan tertidur disana.
***
Hari telah berganti, sinar
matahari mulai menembus gorden biru yang berada dikamarku. Sebuah
kecupan hangat terasa begitu
jelas dikeningku, perlahan kubuka mataku dan melihat Ajeng sudah
duduk disamping sofa sambil
tersenyum.
“Pagi.” Sapanya.
“Ajeng, tumben kamu bangun
duluan?? Ada apa nih??” tanyaku.
“yahh..pasti kakak lupa deh, khan
kakak hari ini mau ngajak aku piknik. Gimana sih, orang udah
semangat2 juga.” Ujarnya dengan
mulut yang manyun kedepan.
“hehehe, jelek banget sih gitu.
Udah... siap2 gih, kamar kamu udah kakak rapiin. Tenang aja, kakak
nggak lupa kok.”
“Okeh bos...” senyuman indah kembali
terpancar diwajahnya.
“Ajeng...” teriakku saat ajeng
sudah diujung pintu.
Ajeng menoleh. “ada apa kak??”
“Makasih yah.”
“Buat??” tanya ajeng heran.
“Nggak, udah....sana mandi. Bau
tau.”
“hhuuu...kak Yudha Aneh...” ajeng
melempar boneka kodok yang sedari tadi dipegangnya kearahku.
“Awww... Ajeng...”
“Rasain....wueeekkkk..”
ajeng menutup pintu kamar.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku dan Ajeng tiba
disebuah pantai, aku memakai kaos putih dan dilapisi oleh sebuah baju pantai
putih hitam ditemani sebuah celana pendek melewati lutut. Sedangkan ajeng
memakai dress ping bunga-bunga selutut, kepalanyapun terhiasi dengan sebuah
topi pantai berwarna putih. kami bersenang-senang disana melupakan semua yang
terjadi kemarin. Semuanya terasa ringan, begitu membahagiakan. Tak ingin
berlalu secepat itu, kalau boleh..aku ingin waktu berhenti sekarang juga.
Disini..bersama Ajeng....
Ajeng masih asyik bermain
air dipantai itu, sedangkan aku duduk bersender dibawah sebuah pohon kelapa yang cukup besar.
Ajeng melihatku lalu berjalan menghampiriku.
“capek yah kak??”
tanyanya saat duduk disebelahku.
“ya gitu deh...” jawabku
singkat.
“hhuuu..payah, kayak
orang udah tua aja..masa..baru jalan-jalan seharian udah lemes.”
“hemb....iya deh,
suka-suka kamu ajah.” Kataku mengalah.
Ajeng melepaskan topinya
dan duduk mendekat, ia menyenderkan kepalanya didadaku.
“Aku juga capek kak.
Boleh kan, aku istirahat dipelukkan kakak.” Ucapnya saat sudah benar-benar
tidur dipelukanku.
“iya...”
Matahari sore itu
perlahan mulai terbenam, aku dan Ajeng masih diam duduk dibawah pohon itu.
“Kak Yudha...”
“Apa?”
“soal...perkataan kakak
waktu dikamar aku kemarin, saat kakak meluk aku. Itu...”
“itu bener, kakak nggak
bohong kok.” Kataku terus menatap kedepan.
“aku tau, detak jantung
kakak waktu itu..masih terasa jelas. Dan...sama banget, sama detak jantung
kakak yang sekarang.” Ajeng tersenyum. “aku nggak nyangka, ternyata....kakak
suka deg-degan kalo deket sama aku.” Tambahnya.
“iya, apa kamu....”
perkataanku langsung disambung ajeng.
“sama kak, aku juga...aku
kira...Cuma aku yang sering ngerasain perasaan itu, ternyata..kakak juga.”
“sekarang...kakak bisa
kan milikin kamu?? Bukan sebagai adik, tapi....sebagai pacar.” Ucapku membelai
rambut Ajeng.
Kurasakan ajeng
mengangguk.
“aku sayang sama kak
Yudha, aku cinta sama kakak, selamanya...aku akan tetap cinta sama kakak, Cuma
kakak yang ada dihati aku. Cuma kakak yang aku mau dan aku butuh,
walaupun...aku udah berusaha untuk menghapus rasa ini. Tapi tetap aja, cinta
aku nggak berubah. Tetep buat kakak.” Kata Ajeng.
“Jangan pernah nyoba buat
ngapus rasa itu dihati kamu, karena...kakak juga nggak akan pernah menghapus
kamu dalam hati kakak.”
Ajeng menengok dan
menatap sendu wajahku, jujur...aku sungguh gemetar, jantung ini terasa semakin
berdetak cepat melewati batas seharusnya. Wajah kami semakin dekat, aku mencium
lembut bibirnya. Tak lama, Ajeng melepaskan ciuman itu dan kembali menatap
matahari yang sebentar lagi benar-benar tenggelam.
“Love you..” kata-kata
itu keluar begitu saja dari mulutku.
“Love you too kak.” Balas
ajeng.
Tangan Ajeng yang tadi
menggenggam erat tanganku jatuh terhempas ketanah. Aku tersenyum sambil terus
memeluk tubuh ajeng yang sudah terbujur kaku itu. perlahan, kurasakan obat yang
tadi kuminum mulai bereaksi. Jantungku terasa begitu sakit ba’ dihujam dengan
berjuta pisau dapur. Pelukanku mengendur, hari menjadi gelap. Matahari yang
sudah benar-benar tenggelam itu menandakan kalau aku juga ikut bersamanya.
Kematian...awal dari sebuah kehidupan....
Aku mencintaimu adikku
tersayang, selamanya............
----------------------------------------------------THE
END-------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar