Jumat, 20 April 2012

PEDIH


Awan biru yang indah itu kini telah berubah menjadi gumpalan-gumpalan awan hitam dengan air-air yang terkandung didalamnya dan siap untuk menghujani bumi.
Sang Matahari cerah meredup, hilang tak terlihat tertutup awan gelap.
Burung-burung pun bertebangan hendak kembali kesarangnya.

Taman penuh bunga indah yang tadinya ramaipun sekarang telah sepi bagaikan terganti oleh sebuah pemakaman.
Semua orang pergi. Tapi tidak dengan DIA....
DIA...orang yang sangat aku cintai.
DIA...orang yang paling berarti dalam hidupku.
DIA...satu-satunya orang yang kumiliki didunia ini.
Terlihat begitu jelas dari sudut pandangku berdiri.
Ia masih terduduk lemas dikursi panjang dipinggir kolam itu.
Saat air hujan turun memabasahi bumi, menerpa dirinya yang sedang sedih.
Air hujan dan air mata yang sama derasnya membasahi pipi putih gadis itu.
Segukan tangisnya terdengar.
Tangisannya pecah diguyuran hujan.
Kaos biru dan jeans pendeknya pun telah cukup basah saat ini.

CUKUP....
Aku sudah tak sanggup lagi.
Aku tak bisa membiarkannya sendiri disana.
Tak bisa membuat dirinya terus menangis.
Tak bisa melihat hatinya terus tersakiti.

Kukuatkan peganganku terhadap sebuah gitar yang memang sudah dari tadi kubawa.
Perlahan...kuberjalan ditengah guyuran hujan.
Mencoba untuk melawan derasnya air yang menghujam tubuh kurusku.
Aku hendak menghampirinya.
3 langkah lagi..ya...hanya 3 langkah lagi aku tiba tepat didepannya.
Aku berhenti.... kuangkat gitarku sampai tepat didepan perutku.
Kumainkan gitar itu, petikan pertama ia menoleh memandangku tajam dengan sorot mata yang memerah.
Aku mulai bernyanyi untuk menghibur dirinya.


Engkau yang sedang patah hati...
Menangislah dan jangan ragu ungkapkan...
Betapa pedih hati yang tersakiti...
Racun yang membunuhmu secara perlahan...

Engkau yang saat ini pilu...
Betapa menanggung beban kepedihan...
Tumpahkan sakit itu dalam tangismu...
Yang menusuk relung hati yang paling dalam...

Hanya diri sendiri...
Yang tak mungkin orang lain akan mengerti...
Disini ku temani kau dalam tangismu...
Biar air mata dapat cairkan hati...
Kan ku cabut duri pedih dalam hatimu...
Agar kulihat, senyum ditidurmu malam nanti...
Anggaplah semua ini...
Satu langkah dewasakan diri...
Dan tak terpungkiri...
Juga bagi...

Engkau yang hatinya terluka...
Dipeluk nestapa tersapu derita...
Seiring saat keringnya air mata...
Tak mampu menahan pedih yag tak ada habisnya...

Hanya diri sendiri...
Yang tak mungkin orang lain akan mengerti...
Disini kutemani kau dalam tangismu...
Bila air mata dapat cairkan hati...
Kan ku cabut duri pedih dalam hatimu...
Agar kulihat, senyum ditidurmu malam nanti...
Anggaplah semua ini...
Satu langkah dewasakan diri...
Dan tak terpungkiri...
Juga bagi...mu...

Sedikit senyuman terukir indah diwajahnya.
Akupun ikut tersenyum.
“Kakak....” panggilnya sambil berlari kearahku.
“Ajeng...” sahutku melepaskan gitar dari genggamanku dan mulai merentangkan tanganku lebar untuknya.
Ia jatuh dipelukanku.
Erat, sungguh erat..pelukannya begitu erat dan hangat.
aku juga membalas erat pelukannya.
“Kakak....” ucapnya lirih dalam pelukanku.
“Udah ya Jeng, kamu nggak boleh nangis lagi. Kakak nggak suka ngeliat kamu nangis kayak gini. Air mata kamu terlalu berharga untuk cowok beren*s*k itu.” kataku sambil membelai halus rambutnya.
Ia melepaskan pelukannya dan menatapku sendu.
“Kak Yudha tau dari mana kalo......” perkataannya kuputus.
“kakak tau semuanya Jeng, semua tentang kamu itu pasti kakak tau.” Ujarku sambil memegang kedua pipinya. “Jadi...kakak harap, kamu nggak nangis lagi hanya karena cowok jelek itu. ngerti??” lanjutku.
Ia tersenyum, mengangguk pelan.
“kakak yakin kok, diluar sana...masih banyak cowok baik yang ngantri jadi cowok kamu. Jangan sedih lagi yah. Kakak sayang banget sama kamu.”
“Aku juga sayang banget sama kakak.” Ucapnya balik memegang tanganku yang masih memegang kedua pipinya.
“Janji yah, jangan pernah netesin air mata kamu untuk cowok-cowok nggak jelas kayak Bryan itu lagi.”
“Iya kak, aku janji.”
Aku kembali memeluknya.
“kita pulang yah. Kalo disini lama2, entar kamu sakit lagi.”
Ia mengangguk dalam pelukanku pertanda “iya”.
Kulepaskan pelukan itu, kuambil gitar yang tadi kulepaskan tepat disampingku. Ia meraih tangan kananku, Menggandengnya begitu erat. Kepalanya disenderkan dibahuku sambil tersenyum.
Hujan yang tadinya begitu deras menghujam tubuh kami berdua, kini mulai mereda seiring kepergian kami dari taman itu.
“Kak Yudha...” panggil Ajeng ditengah perjalanan dengan masih menggandeng tanganku erat dan menyenderkan kepalanya dibahuku.
“Iya Ajeng.” Jawabku sambil terus memandang kedepan.
“Makasih ya Kak, udah selalu ada buat aku.”
Aku tersenyum membalas pernyataannya itu.
“sekarang, aku ngerasa kalo...kayaknya..aku nggak butuh lagi orang lain dihidup aku. Aku nggak butuh cowok-cowok nggak jelas kayak Bryan, aku juga nggak mau sama cowok-cowok baik yang kakak bilang ngantri buat aku tadi.”
“Terus.... kamu mau selamanya sendiri gitu?? Mau yah jadi perawan tua??” godaku.
“Ighhh..kakak.” ia memukul pelan lenganku. “bukannya gitu...aku nggak mau sama mereka semua,
aku nggak butuh sama mereka.. Kakak mau tau nggak apa yang aku mau dan aku butuh sekarang.”
Aku berhenti berjalan dan menghadapke Ajeng.
“apa??” aku menatap ajeng penasaran.
“Kakak.” Jawabnya singkat sambil menunjukan senyum termanisnya.
Jantungku berdebar kencang mendengar ucapannya itu, tanganku dingin dan bergetar. Aku berusaha
Keras untuk tidak berteriak senang, menahan diri agar tidak terbang kelangit. Hanya seuntai senyum
yang kulemparkan kepadanya.
“Kakak?? Maksud kamu??” tanyaku gemetar.
Ia tersenyum.
“aku mau satu-satunya cowok yang ada dihidup aku tuh Cuma kakak, Cuma kakak yang aku butuh
dalam hidup aku. Kalau kakak terus ada disamping aku, aku bakal jadi cewek yang paling beruntung
didunia ini.” Katanya dengan menatapku tajam.
“hehehe...” aku menggaruk-garuk kepalaku. “jadi..ceritanya kamu suka nih sama kakak?? Kamu
nembak kakak yah??” sambungku lagi.
Ajeng mengerutkan alisnya.
“Kakak sakit yah??” katanya sambil memeriksa keningku. “ngomongnya ngaco deh.”
“lohhh...siapa juga yang ngaco, itu tadi... kata-kata kamu, kamu suka kan sama kakak?? Hayoo
ngaku?? Hembb..susah yah kalo orang terlanjur ganteng, ampe adek sendiri tuh jatuh cinta loh.”
Ujarku kepedean sambil melipat tangan didada.
“Igghhh..ighhh...ighhhh...kakak mulai deh lebaynya, siapa bilang aku jatuh cinta sama kakak. Aku
itu...” kata2nya yang belum selesai.
“hemb...ngeles ajah, dasar jelek...” aku mengacak-acak rambut panjangnya itu.
“kakak....udah ahh, payah...ngomong sama kakak nggak pernah serius. Main-main aja kerjaannya.”
Ujarnya manyun.
Sungguh, aku sama sekali nggak main-main. Itu serius Jeng, kakak seneng banget kalo emang kamu
cinta sama kakak. Gumamku dalam hati.
“Yahhh..dia ngambek, udah dong...pesek jangan ngambek yah, entar tambah pesek lagi.”
“Kak Yudha...” rengeknya kayak anak kecil.
“iya.iya....ya udah, pulang yuk. Nggak kedinginan kamu pake baju basah gitu.” Bujukku.
Ia kembali tersenyum, dan lagi-lagi menggandeng tanganku erat.
“Yuk pulang.” Ucapnya. “Janji yah kak...jangan pernah tinggalin Ajeng.”
“Iya, kakak janji.”

***
Keesokan harinya..
“Ajeng.....” teriakku dari lantai bawah rumah kami.
Tak ada jawaban dari Ajeng.
“hmbbb...pasti belum bangun.”
Aku berjalan menaiki anak tangga menuju kamar ajeng.
“Ajeng...bangun dek...udah siang nih, masa cewek bangunnya siang sih.” Kataku sambil mengetuk
pintu kamar Ajeng yang terkunci. “Ajeng...”
“I..i..iya kak....iya, ajeng udah bangun kok.” Sahutnya pelan.
“Kok suara kamu gitu sih?? Kamu sakit ya??” tanyaku khawatir.
“Nggak kak, Ajeng baik-baik aja kok. Kakak tunggu dibawah yah, bentar lagi ajeng turun.”
“Owhh..ya udah, kakak tunggu dibawah yah.” Aku berjalan pergi.
Sesampainya dibawah, terdengar suara ketukan pintu dari luar.
“Iya sebentar...” kataku berjalan mendekat kepintu. “Pak Gunawan??” ucapku saat membuka pintu
dan melihat sosok orang yang berdiri tegap diujung pintu.
“Yudha, bisa minta waktunya sebentar. Ada beberapa hal yang perlu saya berikan kepada anda.”
Ucap Pak Gunawan seorang pengacara pribadi keluargaku dengan tegas dan lantang.
“Iya pak, silahkan masuk.”
Aku dan pak Gunawan duduk diruang tamu.
“Ada apa Pak??” tanyaku penasaran.
Pak Gunawan mengambil sebuah Map biru dari tas hitamnya.
“Saya kesini untuk memberikan ini kepada dek Yudha.” Kata pak Gunawan memberikan map itu
kepadaku.
“Ini apa pak??”
“Nanti...anda juga akan tau itu apa, dan...satu lagi. Ini..surat yang ditulis Pak Dharma sebelum ia
Meninggal.” Pak Gunawan kembali mengeluarkan sebuah amplop kecil dari tasnya. “Saya kira, hanya
itu saja yang dapat saya berikan untuk dek Yudha. Sampai sekarang, saya tidak pernah membaca apa
isi surat itu. saya harap...itu merupakan suatu hal yang dapat membuat hidup dek Yudha dan dik
Ajeng senang.” Terangnya.
Hanya satu hal yang bisa buat aku senang, yaitu..aku sama Ajeng bisa sama-sama, bukan sebagai
kakak dan adik tapi sebagai sepasang kekasih. Gumamku dalam hati sambil memegang erat amplop
itu.
“kalau begitu, saya permisi dulu.” Ujar Pak Gunawan pamit pulang.
“cepet banget pak pulangnya.”
“iya, saya ada janji sama client saya yang lain.” Jelasnya.
“owhhh, baiklah...terima kasih pak.”
“sama-sama, kalau ada sesuatu yang kurang jelas dari isi map itu. dek Yudha bisa langsung
menghubungi saya.”
“iya.”
Aku mengantar pak Gunawan keluar dari rumah, Ajeng keluar dari kamarnya dan turun kebawah.
“Kakak, tadi Pak Gunawan yah??” tanya ajeng lembut.
“iya.”
“ngapain??”
“Nih, ngasih ini.” Kataku mengangkat map dan amplop itu.
“Isinya apaan??”
“nggak tau, Pak Gunawan sama sekali nggak ngasih tau apa2 sama kakak.”
“ya udah, buka aja kak.”
Aku mengangguk lalu berjalan menuju sofa diruang tamu.
Kuletakkan Map diatas meja, kuingin mengetahui terlebih dulu apa yang ingin papa sampaikan
padaku. Pelan kubuka lem yang menutup amplop itu.
“Ajeng.... sini, kita baca sama-sama.” Panggilku.
“Nggak ahh, paling itu Cuma soal bisnisnya papa yang mau diwarisin kekakak.” Kata Ajeng yang
berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.


Yudha..
Papa punya sebuah cerita untuk kamu dan Ajeng...

“Ajeng....sini ikutan baca sama kakak, ini bukan surat bisnis2an kok.” Teriakku.
“iya, entar ajeng kesana...mending kakak bacain aja. Ajeng bakal dengerin dari sini.”
“Okeh....”

Yudha..
Papa punya sebuah cerita untuk kamu dan Ajeng...
Dulu.. saat usia kamu masih 3 tahun. teman papa pernah datang kesini, kerumah
kita...
Dia menginap untuk melangsungkan liburan bersama istri dan anak perempuannya
yang sangat cantik..
keluarga kita dan keluarga mereka sangat akrab, bahkan sudah seperti keluarga
sendiri, ketika waktu liburan mereka selesai..mereka memutuskan untuk kembali
keSingapura. Karena...anak kesayangan mereka divonis mengidap penyakit Kanker
Otak stadium satu, belum terlalu parah..tapi bila dibiarkan kanker itu bisa
menyebar dan semakin tumbuh lebih ganas lagi bahkan menyebabkan kematian.
Diperjalanan menuju bandara, mobil mereka kecelakaan Yud. Teman papa dan
istrinya meninggal, sedangkan anak perempuannya yang masih berusia 2 tahun
selamat..
Hanya keluarga kita yang mengenal mereka, karna memang..keluarga teman papa
itu sudah tidak ada lagi.. hanya KITA...
Anak perempuan itu..sekarang sendiri Yudha, tidak punya orang tua, tidak punya
Keluarga. makanya..papa dan mama memutuskan, untuk mengadopsi anak teman
papa itu menjadi anak kami dan juga jadi adik kamu.
Sekarang...anak itu, jadi anak yang baik, pintar dan juga cantik kan Yudha??
Anak perempuan kesayangan papa dan mama... AJENG...

Aku menoleh kearah Ajeng yang masih membelakangiku.
Jadi....jadi...Ajeng bukan adik kandungku??? Dia bukan saudaraku... lirihku dalam hati.
Aku senang mengetahui kenyataan ini tapi...bagaimana dengan Ajeng?? Apa dia sedih?? Mengetahui
kalau dirinya bukan bagian dari mama dan papa. Aku melanjutkan bacaanku yang terpotong tadi.

Jujur...
Papa dan mama sangat menyayangi Ajeng bagaikan anak papa dan mama sendiri..
Bagaimanapun, Ajeng adalah bagian dari keluarga kita..
Papa dan mama sayang Ajeng..tentunya sayang Yudha juga..
Yudha...papa titip ajeng yah, jagain Ajeng..
Maafkan papa dan mama baru menceritakan semua ini sekarang..
Papa mama, sayang yudha ajeng...

                                                              Salam sayang,
                                                                     Papa


“Ajeng....Kakak...”
“Ajeng nggak apa2 kok kak, kakak tenang aja...” jawabnya tanpa menoleh kearahku.
Aku berjalan hendak menghampiri Ajeng, saat langkahku sudah semakin dekat Ajeng berlari keatas
menuju kamarnya.
“Ajeng...” panggilku yang sama sekali tak digubris olehnya.
Aku melihat tempat dimana ajeng berdiri tadi, beberapa tetesan darah segar tertempel dilantai.
Kudekati tetesan darah itu untuk memastikan apakah itu benar-benar darah.
Entah mengapa, dikepalaku langsung terngiang ucapanku sendiri saat membaca surat papa tadi.

mereka memutuskan untuk kembali keSingapura. Karena...anak kesayangan mereka
divonis mengidap penyakit Kanker Otak stadium satu, belum terlalu parah..tapi bila
dibiarkan kanker itu bisa menyebar dan semakin tumbuh lebih ganas lagi bahkan
menyebabkan kematian.

Aku terduduk lemas sambil memegang kertas itu.
“Nggak, itu nggak mungkin..Ajeng nggak mungkin punya penyakit kayak gitu. Papa sama mama pasti
salah. Iya...” ujarku mencoba menenangkan diriku sendiri.
Langsung saja aku berlari menuju kamar Ajeng, pintunya yang sedikit terbuka seakan ingin
menunjukka kepadaku apa yang sedang terjadi didalam kamar itu, kulihat Ajeng sedang mencari-cari
sesuatu didalam laci mejanya. Kamarnya yang selalu tampak rapi sekarang berubah berantakan
bagaikan kapal pecah yang semalam habis perang melawan Belanda.
Terlihat bercak-bercak darah diSelimut putih bunga-bunga yang selalu menemani tidur malamnya.
Kudorong perlahan pintu kamar itu.
“Ajeng....”
“kakak... kenapa kakak bisa masuk?? Bukannya tadi aku sudah mengunci pintunya.” Tanyanya sambil
terus menutupi hidungnya dengan tangan.
“kamu kenapa Jeng??” tanyaku khawatir.
“aku nggak apa2 kak Yudha, udah...kakak keluar aja yah. Aku mau istirahat.”
“Bohong...” ucapku.
“Kakak...beneran, ajeng nggak kenapa2.”
“kalo gitu, lepasin tangan kamu..kakak pengen liat wajah kamu.” Ucapku sedikit membentak.
“nggak bisa kak, aku lagi flu..takut virusnya nyebar.”
“Ajeng, sejak kapan kamu berani bohongin kakak kayak gini??” bentakku.
“sejak hari ini, kakak juga..sejak kapan kakak nggak tau tentang aku, kakak selalu bilang kalo kakak
itu selalu tau tentang aku. Tapi mana buktinya?? Kakak tuh pembohong tau nggak, pembohong..”
katanya sedikit berteriak. “sekarang..aku mau kakak keluar dari kamar aku, aku mau sendiri...”
lanjutnya.
“nggak, kakak nggak mau keluar dari kamar kamu.”
“aku bilang keluar kakak..” ajeng mendorongku dengan satu tangannya.
Kutarik tangannya yang mendorong tubuhku tadi kedalam pelukkanku. Aku memeluknya sungguh
Erat, tak sadar air mataku menetes dihari impianku terwujud.
Aku senang, dia bukan adikku..tapi aku sedih, kenapa dia harus sakit?? Kenapa sakit yang parah
seperti ini??
Dia memberontak dipelukanku terdengar tangisannya yang juga pecah tak terbendung.
“aku bilang keluar kak, keluar....” pukulannya yang tadi menerpa dadaku kini berhenti.
Mungkin ia sudah merasa lelah untuk terus memberontak, ia memendamkan kepalanya didadaku
Sambil terus menangis.
Aku membelai rambutnya pelan.
“Maafin kakak.”
Aku melepaskan pelukanku, perlahan aku mengangkat tangannya supaya tidak menutupi wajahnya
lagi. Aku kaget, tak menyangka..apa sudah separah ini??? Hidungnya terus saja mengeluarkan darah.
Kuhapus air mata yang mengalir dari mata indahnya, kukeluarkan sebuah sapu tangan putih dari
dalam sakuku. Hati2ku bersihkan darah dihidungnya.
“Jangan nangis. Udah kakak bilang kan, kakak nggak suka liat kamu nangis.” Kataku disela-sela
aktifitasku yang tengah membersihkan darah dari wajah Ajeng.
Kulihat air matanya menetes lagi, iapun kembali memelukku.
“Aku sayang kakak, aku....aku....” katanya terbata-bata.
“Kakak Cinta sama kamu.” Ucapku memutus perkataannya. “Aku cinta sama kamu, aku cinta Jeng.
Aku cinta.” Kataku berulang-ulang sambil terus memeluknya.
Aku merasakan pelukan ajeng mulai meregang, tampak jelas kalau kondisi tubuhnya semakin
Melemah, segera kugendong ajeng menuju kamarku. Karena..kamar Ajeng sudah cukup berantakan,
selimut penuh darah, bantal berserakan dilantai, tisu-tisu berwarna merahpun berkumpul bagaikan
lautan tisu.
Tak lama dokter keluarga yang aku telfon tadi datang, ia memeriksa keadaan Ajeng. Setelah cukup
lama memeriksa keadaan Ajeng, dokter itu mengajakku bicara berdua diruang tamu. Kata-kata dokter
itu begitu menghujam jantungku yang hanya satu ini, hatiku teriris perih. Kanker Otak Ajeng sudah
mencapai stadium akhir, hanya tinggal menunggu waktu. Tak lama...mungkin 1 bulan lagi, tidak...1
minggu, No....itu jg kebanyakan...tinggal beberapa hari lagi.

(HELLLOOWWW...Dokter, loe pikir diri loe itu tuhan apa?? Enak aja ngatur-ngatur hidup mati
orang, sinih loe lawan gue, biar gue panggilin temen-temen gue buat ngeroyokin loe. Hemb.. dasar
dokter nggak bersahabat, FINE DOK!!! Okeh, kalo gitu Kita PUTUS... DOKTER gue END..!!!
#gubrakkkk, penulis menggila...abaikan.)

Setelah dokter itu pulang, aku masuk kekamarku. Perlahan aku duduk disamping tempat tidur dimana
sekarang Ajeng terbaring lemah tak berdaya. Aku memegang tangan Ajeng.
Air mataku kembali menetes jatuh tepat ditangan Ajeng. Tangan putihnya itu sedikit bergerak.
“Kak...jangan nangis, emangnya kakak pikir Cuma kakak doang yang nggak suka liat aku nangis. Aku
juga nggak suka tau liat kakak nangis.” Kata-katanya terdengar begitu lemah.
“kamu udah sadar??” aku tersenyum sambil menghapus air mataku. “kakak nggak nangis kok, Cuma
kelilipan aja tadi.” Sambungku.
“Bohong... kakak pikir, kakak bisa bohongin aku yah. Hehehe..kakak salah, aku tau kok..kakak sedih
kan?? Hemb..payah ahh, masa aku punya kakak cowok yang cengeng sih.”
“enak aja bilang kakak cengeng, cengengan juga kamu.”
“aku wajar cengeng, khan aku cewek,. Nahh kakak...cowok kok cengeng.” Kata Ajeng disertai tawa
khas yang dimilikinya.
“kakak juga kan cengeng gara-gara kamu.”
Ajeng tersenyum.
“Kakak bisa ajah. Gombal...”
“Ya udah, kamu istirahat yah?? Biar cepet sembuh.” Kataku sambil membelai rambutnya.
“kakak bohong lagi.” Cetusnya. “Aku nggak bisa sembuh lagi kakak, percuma juga aku istirahat. Iya
kan??”
aku tertegun. Pernyataannya sungguh tepat tak meleset sedikitpun.
“kamu nggak boleh ngomong kayak gitu, kamu pasti...” ucapanku terputus.
“Aku mau piknik, kakak mau kan nemenin aku??” katanya tiba-tiba.
“Nggak, kamu masih sakit. Kakak nggak mau ambil resiko.”
“kakak....pliss..yah, mau yah... katanya sayang sama aku, gitu aja kok nggak mau.”
Aku tak dapat menolaknya saat ia mengeluarkan wajah yang super melas itu.
“Iya.iya...besok kita piknik, udah..sekarang kamu istirahat yah.” Ujarku mengalah.
“yesss...makasih kak yudha sayang.”
Aku beranjak dari dudukku hendak keluar, tapi..ajeng memegang erat tanganku.
“jangan pergi kak, temenin Ajeng tidur. Ajeng takut, entar...malaikat dateng lagi buat jemput ajeng.
Khan kalo ada kak Yudha, ajeng ada yang nolongin.”
“kamu inih, ada-ada ajah. Ya udah, kakak nggak akan kemana-mana. Kamu tidur yah.” Aku
kembali duduk disamping tempat tidur itu.
sepanjang malam aku hanya menatap Ajeng sambil memegang erat tangannya. kucium keningnya
sebelum aku beranjak pergi untuk sholat dan meminta kesembuhan bagi orang yang paling aku cintai
itu. setelah sholat, aku duduk disofa yang berada dikamarku. Dan tertidur disana.

***
Hari telah berganti, sinar matahari mulai menembus gorden biru yang berada dikamarku. Sebuah
kecupan hangat terasa begitu jelas dikeningku, perlahan kubuka mataku dan melihat Ajeng sudah
duduk disamping sofa sambil tersenyum.
“Pagi.” Sapanya.
“Ajeng, tumben kamu bangun duluan?? Ada apa nih??” tanyaku.
“yahh..pasti kakak lupa deh, khan kakak hari ini mau ngajak aku piknik. Gimana sih, orang udah
semangat2 juga.” Ujarnya dengan mulut yang manyun kedepan.
“hehehe, jelek banget sih gitu. Udah... siap2 gih, kamar kamu udah kakak rapiin. Tenang aja, kakak
nggak lupa kok.”
“Okeh bos...” senyuman indah kembali terpancar diwajahnya.
“Ajeng...” teriakku saat ajeng sudah diujung pintu.
Ajeng menoleh. “ada apa kak??”
“Makasih yah.”
“Buat??” tanya ajeng heran.
“Nggak, udah....sana mandi. Bau tau.”
“hhuuu...kak Yudha Aneh...” ajeng melempar boneka kodok yang sedari tadi dipegangnya kearahku.
“Awww... Ajeng...”
“Rasain....wueeekkkk..” ajeng menutup pintu kamar.

------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku dan Ajeng tiba disebuah pantai, aku memakai kaos putih dan dilapisi oleh sebuah baju pantai putih hitam ditemani sebuah celana pendek melewati lutut. Sedangkan ajeng memakai dress ping bunga-bunga selutut, kepalanyapun terhiasi dengan sebuah topi pantai berwarna putih. kami bersenang-senang disana melupakan semua yang terjadi kemarin. Semuanya terasa ringan, begitu membahagiakan. Tak ingin berlalu secepat itu, kalau boleh..aku ingin waktu berhenti sekarang juga. Disini..bersama Ajeng....
Ajeng masih asyik bermain air dipantai itu, sedangkan aku duduk bersender  dibawah sebuah pohon kelapa yang cukup besar. Ajeng melihatku lalu berjalan menghampiriku.
“capek yah kak??” tanyanya saat duduk disebelahku.
“ya gitu deh...” jawabku singkat.
“hhuuu..payah, kayak orang udah tua aja..masa..baru jalan-jalan seharian udah lemes.”
“hemb....iya deh, suka-suka kamu ajah.” Kataku mengalah.
Ajeng melepaskan topinya dan duduk mendekat, ia menyenderkan kepalanya didadaku.
“Aku juga capek kak. Boleh kan, aku istirahat dipelukkan kakak.” Ucapnya saat sudah benar-benar tidur dipelukanku.
“iya...”
Matahari sore itu perlahan mulai terbenam, aku dan Ajeng masih diam duduk dibawah pohon itu.
“Kak Yudha...”
“Apa?”
“soal...perkataan kakak waktu dikamar aku kemarin, saat kakak meluk aku. Itu...”
“itu bener, kakak nggak bohong kok.” Kataku terus menatap kedepan.
“aku tau, detak jantung kakak waktu itu..masih terasa jelas. Dan...sama banget, sama detak jantung kakak yang sekarang.” Ajeng tersenyum. “aku nggak nyangka, ternyata....kakak suka deg-degan kalo deket sama aku.” Tambahnya.
“iya, apa kamu....” perkataanku langsung disambung ajeng.
“sama kak, aku juga...aku kira...Cuma aku yang sering ngerasain perasaan itu, ternyata..kakak juga.”
“sekarang...kakak bisa kan milikin kamu?? Bukan sebagai adik, tapi....sebagai pacar.” Ucapku membelai rambut Ajeng.
Kurasakan ajeng mengangguk.
“aku sayang sama kak Yudha, aku cinta sama kakak, selamanya...aku akan tetap cinta sama kakak, Cuma kakak yang ada dihati aku. Cuma kakak yang aku mau dan aku butuh, walaupun...aku udah berusaha untuk menghapus rasa ini. Tapi tetap aja, cinta aku nggak berubah. Tetep buat kakak.” Kata Ajeng.
“Jangan pernah nyoba buat ngapus rasa itu dihati kamu, karena...kakak juga nggak akan pernah menghapus kamu dalam hati kakak.”
Ajeng menengok dan menatap sendu wajahku, jujur...aku sungguh gemetar, jantung ini terasa semakin berdetak cepat melewati batas seharusnya. Wajah kami semakin dekat, aku mencium lembut bibirnya. Tak lama, Ajeng melepaskan ciuman itu dan kembali menatap matahari yang sebentar lagi benar-benar tenggelam.
“Love you..” kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
“Love you too kak.” Balas ajeng.
Tangan Ajeng yang tadi menggenggam erat tanganku jatuh terhempas ketanah. Aku tersenyum sambil terus memeluk tubuh ajeng yang sudah terbujur kaku itu. perlahan, kurasakan obat yang tadi kuminum mulai bereaksi. Jantungku terasa begitu sakit ba’ dihujam dengan berjuta pisau dapur. Pelukanku mengendur, hari menjadi gelap. Matahari yang sudah benar-benar tenggelam itu menandakan kalau aku juga ikut bersamanya. Kematian...awal dari sebuah kehidupan....
Aku mencintaimu adikku tersayang, selamanya............

----------------------------------------------------THE END-------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar