Jumat, 20 April 2012

ANGIN



“Kenapa??
Tanya Ajeng, seorang gadis yang tengah menikmati indahnya suasana matahari tenggelam diatas kursi rodanya.

“Apa??”
Seseorang yang dari tadi berdiri disampingnya malah balik bertanya.

Ajeng menoleh. “Kenapa kamu masih berada disini??”
“Tentu saja, Karena aku ini Doktermu.” Jawab Dokter Yudha, orang yang berdiri disamping Ajeng sambil tersenyum.
Ajeng tersenyum sinis mendengar pernyataan yang baru saja keluar dari mulut Yudha, Dokternya

“Aku tau kau Dokter yang menanganiku, tapi...pasti ada alasan lain kan mengapa kau masih berada disini.” Ujarnya kembali menatap suasana matahari tenggelam itu.
“Lalu, menurutmu...apa itu?? apa kau tau alasan lain mengapa aku masih berada disini??” Kata Dokter Yudha melihat kearah Ajeng.
“Iba mungkin.” Ucap Ajeng singkat.
Yudha kembali tersenyum. “Mengapa kau bisa berfikir kalau aku iba kepadamu?”

“Entahlah, aku ini...hanya seorang gadis cacat yang tidak bisa apa-apa...
Semua orang pergi, bahkan... orang tuaku pun meninggalkan aku untuk selamanya.
Tak ada harapan, apa lagi alasan untukmu berada disini kalau bukan itu. iyakan Dok??” Kata Ajeng berusaha membendung air matanya.
“Tidak.” Jawab sang Dokter singkat.
Ajeng menoleh, raut wajahnya seolah kembali ingin bertanya ‘Lantas apa?’

Apa yang membuat kau tetap bertahan disini??
Bersamaku..
Menjagaku..
Menemaniku..
Membuatku bahagia..
Disaat semua orang pergi...
Disaat semuanya terasa begitu gelap...
Disaat tak ada lagi yang perduli..
Tanpa dibayar..
Tanpa diberi apapun..
Ucapan Terima Kasihpun tak pernah kuberikan..
Apa lagi alasanmu kalau bukan karena rasa Iba???
Rasa iba yang begitu besar..
Kenapa??
Kenapa kau begitu baik??
Kenapa kau selalu memperhatikanku??
Kenapa kau selalu memberikan harapan-harapan yang belum pasti bisa kugapai??
Apa arti semua itu??
Keperdulianmu itu??

“Mungkin, aku hanya cukup mengucapkan satu kata untuk menjawab semua pertanyaanmu itu.”
Dokter Yudha kembali menatap kedepan kearah matahari yang tengah terbenam dengan indahnya.
“Apa??” tanya Ajeng semakin menatap tajam dokternya itu.
“LOVE.” Jawab Yudha singkat.

Deggggg...... tiba-tiba jantung Ajeng tercekat, kemudian terdengar begitu cepat berdetak. Matanya tak sanggup lagi membendung jumlah air mata yang hendak jatuh itu, tangannya dingin, mulutnya kaku tak dapat mengatakan apa-apa lagi.

“Selama aku menanganimu, entah mengapa ada hal lain yang kurasakan. Walaupun aku sama sekali tak dibayar untuk menanganimu aku tak perduli, CUKUP BERADA DISAMPINGMU DAN MELIHATMU SEMBUH hanya itu yang ada dipikiranku sekarang.”
Ajeng sedikit tersenyum, entah itu senyuman bahagia, sedih, atau apa...tak ada yang tau.
“Apakah semuanya benar??” tanya Ajeng berusaha mengendalikan dirinya lagi.
“Ya, Tentu saja.”
“Hmmmmb....” Ajeng menghela nafas. “Dustamu sungguh jadul, kau fikir aku akan percaya dengan semua itu.”
“Aku sama sekali tak berdusta. Apa salah, seorang Dokter jatuh hati pada pasiennya??”
“Salah besar, kalau memang semua yang kau katakan itu benar..berarti itu semua adalah sebuah kesalahan.” Ajeng menatap kedepan. “Kamu...Aku.... BEDA.” Lanjutnya lagi.
“BEDA??”
“Yah, kamu...seorang Dokter tampan yang memiliki segalanya, masa depan yang indah tengah menunggumu. Sedangkan aku, hanya seorang gadis lumpuh yang tak berguna dan tidak memiliki apapun. Masa depan kelam sudah pasti kuraih.” Kata Ajeng kemudian menundukan kepalanya.
“Dasar gadis bodoh.” Ujar Yudha menjitak pelan kepala Ajeng.
“Aw... sakit, apaan sih pake acara jitak-jitakan segala.” Kata Ajeng memegang kepalanya.
“Mengapa pikiranmu sependek ini hah?? Menyebalkan, kau sungguh mudah menyerah. Apa kau memang selemah ini. Aku menyukaimu karena selama ini aku melihatmu sebagai gadis yang tegar, kau mampu melewati hari-hari tanpa mengeluh walau tak ada satupun orang yang kau sayang berada disampingmu. Tapi... mengapa kau jadi seperti ini?? Apa kau putus asa?? Kemana Ajeng yang dulu. Hhuhh.. benar-benar kau ini.” Ujar Yudha mendengus sebal.

“Hai semuanya....” Sapa seseorang yang kemudian muncul dihadapan Ajeng dan Yudha.
“Vitha..kapan kamu pulang??” Tanya Yudha datar.
“Tadi pagi. Emmmbbb.. Sedang bicara apa kalian?? Terlihat begitu serius.” Tanya Vitha merangkul lengan Yudha.
“Hanya sedikit mencurahkan isi hati.” Jawab yudha pelan melepaskan tangan Vitha yang merangkulnya.
“Hemb,,, Kau gadis yang bernama Ajeng bukan??”
Ajeng mengangguk pelan.
“Ohh, okeh Ajeng, Apa yudha mengatakan sesuatu padamu??”
“Iya, Dokter yudha mengatakan beberapa nasehat.” Jawab ajeng mencoba tersenyum.
“Owhh.”

Tak lama Suara hembusan angin petang terdengar begitu jelas, dedaunan yang gugur bertebangan menghiasi udara-udara disekitar taman Rumah sakit itu. Ajeng tersenyum saat merasakan angin menerpa tubuhnya.
“Apa kau menyukai Angin??” Tanya Vitha.
Ajeng kembali mengangguk.
“Kenapa??”
“Suka Aja, menurut Aku Angin itu bebas. Begitu bebas, tidak sepertiku yang terbatas dengan sebuah kursi roda. Aku ingin menjadi angin.”
“Sudahlah. Anginnya terlalu kuat.” Yudha melepaskan jas putihnya atau lebih sering disebut baju putih yang dipakai oleh semua Dokter. “Pakai ini, nanti kau sakit.” Kata yudha memakaikan Jas itu dibadan Ajeng.
Ajeng hanya diam, seperti biasa tanpa mengucapkan terima kasih.
“Suster....!!!!” teriak yudha.
“Ada apa Dok??”
Seorang wanita dengan pakaian susternya berjalan mendekat kearah Yudha.
“Tolong bawa Ajeng kembali kekamarnya yah. Pastikan dia istirahat dan meminum obatnya.”
“Iya Dok, Permisi.” Suster itu membawa Ajeng pergi.

Sepeninggalan Ajeng.
“Apa tadi?? Perhatian itu?? Tatapan itu?? apakah kau menyukainya??” Kata Vitha berdiri tepat dihadapan yudha.
“Seperti harapanmu bukan??”
Yudha menatap datar wajah vitha.

-------------------------
“Sus, saya masih mau disini.” Kata Ajeng menahan rodanya dengan tangan
“tapi kata Dokter, Kamu..”
“Tidak apa-apa sus, saya mohon.. saya janji 5 menit lagi saya akan kembali kekamar.” Ajeng berusaha meyakinkan suster itu agar mau membiarkan dia menikmati indahnya suasana matahari terbenam itu sampai usai.
“Baiklah, hanya 5 menit.. setelah itu kamu harus masuk kembali kekamarmu.” Suster luluh.
“Pasti.”
Suster itupun pergi meninggalkan Ajeng sendiri.


“I..iya..tapi.. aku tak bermaksud begitu.”
“Lalu apa?? Kau sendiri yang mengharapkan agar aku menyayanginya, kau sendiri yang mengharapkan agar aku selalu ada untuknya. Kau sendiri yang mengharapkan agar aku memperhatikannya. Apa salah, bila akhirnya aku benar-benar menyayanginya, benar-benar selalu ada untuknya dan benar-benar memperhatikannya.” Kata Yudha dengan suara yang besar disertai dengan penekanan disetiap ujung kata-katanya.
Vitha terdiam, air matanya jatuh tak tertahan.
“Sekarang, aku benar-benar menyukainya. Sangat menyukainya. Sangat menyayanginya dan.....sangat mencintainya.” Sambung yudha lagi.
“Aku hanya memintamu untuk menyayanginya selama aku pergi, selalu ada untuknya saat aku tak bisa berada disisinya, memperhatikannya saat aku tak bisa memperhatikannya. Apa itu salah??” Lirih Vitha.
“Salah.” Ucap Yudha dengan tegasnya. “Mengapa kau harus memintaku melakukan itu, kenapa bukan kau?? Kau kakaknya, kakak kandungnya. Tapi kau malah memilih menghindar, bukan..kau lari dari tanggung jawab. Kau tak mau kan, mempunyai seorang adik yang lumpuh?? Kau lebih memilih menjauh dan pergi keluar negeri dengan alasan pendidikanmu yang tak kunjung usai itu. Apa kau tau bagaimana perasaannya selama bertahun-tahun ini?? Tanpa orang tua, tanpa sahabat, Tanpa seorangpun disisinya. Tak seorangpun yang ia ingat, tak seorang juga mengingatnya.” Kata stefan bergetar, sekuat mungkin ia berusaha untuk tetap mengontrol emosinya agar tidak meluap.
“Aku..aku..” Vitha tertunduk lemas.
“Aku sangat menyayanginya Vitha, dan aku tak mau dia bersedih lagi saat ia sudah mengingat masa lalunya. Apalagi masa lalu tentang kau.”
Yudha berbalik berniat meninggalkan vitha yang masih terdiam dengan air mata yang terus saja mengalir lancar dipipinya.
“Ajeng.” Ucap Yudha terkejut saat pandangan matanya melihat sosok Ajeng telah menangis tak jauh dari tempat ia berdiri sekarang.
“Ajeng.” Vitha menghapus air matanya dan mengangkat kepalanya melihat Ajeng.
“Kenapa Dokter tidak cerita kalau aku ini lupa ingatan?? Kenapa dokter tidak cerita kalau aku masih mempunyai seorang kakak?? Kenapa Dokter berbohong?? Kenapa Dok??” tanya Ajeng disela2 tangisnya.
“Ajeng, aku...”
“Cukup. Aku tak mau dengar apa-apa lagi.” Kata Ajeng yang kemudian pergi dengan kursi rodanya, dengan sekuat tenaga ia memutar roda dikursinya itu untuk menjauh.
“Ajeng....” teriak yudha yang langsung mengejar Ajeng.
Ajeng terus memutar rodanya dengan keadaan menangis, tanpa disadarinya Ajeng ternyata sudah berada ditengah-tengah jalan raya. Yang memang saat itu sedang banyak mobil-motor berlalu lalang.
“Ajeng...” teriak yudha lagi.
Ajeng berhenti dan menoleh kebelakang.
“Ajeng, aku mohon jangan bergerak. Aku akan kesana untuk menolongmu.”
Yudha berusaha menyebrangi jalan yang penuh dengan kendaraan berkecepatan tinggi itu. saat yudha menyebrang, ajeng melihat ada sebuah truk besar melaju cepat kearah Yudha.
“Dokter awas!!!!!..” teriak ajeng,


BBBUUUGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGG....





Terdengar suara daging dan tulang yang menghantam rerumputan dipinggir jalan.
“Dokter..Dokter..Dokter..” Panggil Ajeng berulang kali sambil menepuk-nepuk pipi Yudha . “Dokter, aku mohon jangan pergi, jangan tinggalkan aku. Aku belum sempat mengatakan kalau aku juga menyukaimu. Ayo Dokter buka matamu.” Lirih Ajeng dengan cucuran air mata yang semakin menjadi-jadi.
“Awwww....” Yudha memegang kepalanya. “tentu saja aku tidak akan pergi, takkan pernah. Apalagi setelah mendengar kata-kata yang baru kau ucapkan tadi.” Yudha membuka matanya.
“Dokter???”
“Sampai kapan kau akan berada diatasku seperti itu?? kau ini ternyata berat sekali.” Cibir Yudha disertai senyuman paling mempesonanya.
Ajeng langsung bangun dari posisinya semula, disusul yudha yang berdiri tepat disebelahnya.
“Kau!!!.. Dokter Jahat dan Bodoh...” teriak Ajeng sambil memukul lengan yudha. “kalau kau tidak bisa menyebrang, tak usah sok jadi pahlawan kesiangan untuk menolongku, tanpa bantuanmu juga aku bisa menyebrang sendiri dengan keadaan yang masih utuh. Bagaimana kalau kau tadi tertabrak?? Siapa lagi dokter yang akan merawatku secara gratis dirumah sakit ini?? Siapa lagi dokter yang akan memperhatikanku, siapa lagi dokter yang akan menyayangiku. Apa kau sudah bosan hidup?” Omel ajeng terus menerus.
Yudha memperhatikan pasien kesayangannya itu dari ujung rambut-ujung kaki. Lalu Yudha tersenyum lebar.
“Senyam-senyum lagi, kau itu hampir saja menuju kematian. Kenapa malah terlihat bahagia??” tanya ajeng dengan sewotnya.
“Apa kau tidak menyadari sesuatu??” tanya Yudha memegang kedua pipi Ajeng.
“menyadari?? Apa??” kata Ajeng gugup.
“Kau yang menyelamatkanku, kau yang sudah menolongku Ajeng. Apa kau tidak sadar??” Ekspressi muka yudha benar-benar terlihat bahagia.
“aku memang menyelamatkanmu, tak usah sesenang itu!!”
“Ya ampun Ajeng, Pasien kesayanganku yang paling cantik.... Dengarkan aku.” Yudha mulai berbisik. “Kau sembuh.” Lanjutnya.
“Apa?” Ajeng menoleh kebawah, ia melihat kakinya yang sudah bisa berdiri lagi. “Sembuh??” Ajeng menatap Yudha dengan mata yang berkaca-kaca.
“Dokter aku sembuh, aku sembuh.” Kata Ajeng refleks memeluk erat Yudha.
Yudha tersenyum lepas dipelukan Ajeng, iapun memeluk erat pasien kesayangannya itu.

Dibalik pohon...
“kamu memang angin jeng, Kamu adalah angin yang berhasil membawa terbang cintanya yudha ikut bersama kamu. Kamu angin yang kuat. Kakak sayang sama kamu.”  Gumam Vitha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar